Patwal dan Bunyi Sirene: Renungkan Kemacetan Jakarta yang Menggila!

Suara sirene yang memecah keheningan merupakan pemandangan yang sudah akrab di jalanan Jakarta. Di tengah kemacetan yang parah, deretan kendaraan pengawalan (patwal) melaju, mengusir antrean mobil lainnya yang hanya bisa menepi pasrah. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: Apakah pengawalan pejabat dengan cara seperti ini masih relevan di tengah hiruk-pikuk kota?

Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, mengutarakan pandangannya yang cukup kritis terhadap praktik ini. Ia menilai bahwa penggunaan patwal sebaiknya hanya diperuntukkan bagi presiden dan wakil presiden saja. Menurut Djoko, terlalu banyak kendaraan pejabat yang mendapat hak istimewa hanya akan menambah beban stres bagi pengguna jalan lainnya, akibat kemacetan dan kebisingan yang diakibatkannya. “Pengguna jalan lainnya punya hak yang sama. Sirene dan patwal mestinya untuk hal-hal benar-benar mendesak,” ujarnya pada 27 Januari 2025.

Setiap hari, lebih dari 100 kendaraan pejabat dikawal di Jakarta. Padahal, jalan-jalan ini dibangun dari pajak yang juga dibayar oleh masyarakat. Pasal 134 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan memang memberikan hak utama bagi kendaraan tertentu seperti ambulans, pemadam kebakaran, dan kendaraan presiden. Namun, pertanyaannya masih belum terjawab: Apakah semua pejabat perlu mendapatkan perlakuan spesial?

Djoko Setijowarno mengusulkan solusi sederhana namun berdampak besar: pejabat negara sebaiknya menggunakan angkutan umum setidaknya seminggu sekali. “Di Jakarta, akses transportasi umum sudah merata, dari KRL hingga MRT,” tegasnya. Dengan cara ini, para pejabat diharapkan dapat lebih memahami kondisi masyarakat yang mereka layani dan merasakan langsung kesulitan yang dihadapi warga saat bertransportasi.

Selain itu, Djoko juga menekankan pentingnya penegakan aturan yang lebih tegas. “Oknum yang memanfaatkan hak patwal demi uang harus ditindak. Denda bagi pelanggar perlu ditingkatkan agar efek jera tercapai,” tambahnya. Pendekatan yang lebih konsisten terhadap penegakan hukum dapat menciptakan rasa keadilan di kalangan pengguna jalan yang lain.

Di tengah arus kemacetan yang terus membesar, mungkin sudah saatnya para pejabat tidak hanya berhubungan dengan rakyat melalui kebijakan, tetapi juga melalui pengalaman sehari-hari di jalanan. Bayangkan jika mereka mau mencoba naik MRT di jam sibuk—tak hanya sebagai bentuk kepedulian tetapi juga mungkin solusi untuk kemacetan itu sendiri dapat muncul dalam kekacauan stasiun yang penuh sesak.

Menghadapi kenyataan bahwa Jakarta adalah salah satu kota terpadat di dunia, diperlukan pemikiran yang inovatif dan perubahan yang nyata dari para pemimpin. Dengan memahami situasi di lapangan dan merasakan langsung kesulitan yang dihadapi masyarakat, diharapkan tindakan yang diambil oleh pejabat dapat lebih relevan dan berdampak positif terhadap kehidupan sehari-hari warga Jakarta.

Exit mobile version