BTS Palsu Sulit Dilacak: Mobil dan Waktu Pancar Diatur?

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menghadapi tantangan besar dalam melacak aktivitas base transceiver station (BTS) palsu. Diketahui, para pelaku yang mengoperasikan BTS ini umumnya memiliki mobilitas tinggi dan pola operasional yang cerdik. Menurut Ketua Bidang Network dan Infrastruktur Indonesian Digital Empowerment Community (IDIEC), Ariyanto A. Setyawan, para aktor dapat berpindah tempat dalam waktu singkat, sehingga sangat sulit bagi pihak berwajib untuk menangkap mereka.

Ariyanto menjelaskan bahwa BTS palsu sering dipasang di dalam kendaraan yang dapat bergerak dengan cepat. Salah satu strategi untuk menghindari deteksi adalah dengan mengatur daya pancar dari BTS palsu tersebut agar tidak terlalu kuat. Selain itu, waktu pancaran juga diatur sedemikian rupa sehingga tidak berlangsung lama. Taktik ini bertujuan agar aktivitas mereka tidak mudah terdeteksi.

Berikut beberapa fakta mengenai BTS palsu yang sulit dilacak:

  1. Mobilitas Tinggi: Para pelaku dapat dengan mudah berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain dalam waktu singkat.

  2. Pengaturan Daya Pancar: BTS palsu ini diprogram untuk memancarkan sinyal dengan daya rendah, sehingga tidak mudah terdeteksi oleh perangkat pengawas.

  3. Pola Operasional: Pada umumnya, BTS palsu hanya aktif dalam waktu singkat, membuatnya sulit untuk dilacak oleh pihak berwenang.

  4. Teknologi 2G: BTS palsu dapat mengirimkan SMS penipuan selama smartphone yang digunakan mendukung teknologi 2G, yang tidak memiliki keamanan yang ketat.

Ariyanto juga mengungkapkan bahwa BTS palsu, yang sering disebut sebagai SMS blaster, bekerja dengan memancarkan sinyal seluler yang tidak resmi dengan cara menggunakan identitas dari operator resmi. Ketika sebuah smartphone kehilangan sinyal dari BTS asli, misalnya karena jarak atau kepadatan jaringan, perangkat tersebut dapat terkecoh dan terhubung ke BTS palsu. Proses registrasi pada jaringan 2G, yang cenderung mengandalkan kepercayaan tanpa adanya verifikasi yang ketat, menjadi celah yang dimanfaatkan oleh aktor-aktor ini.

“Di jaringan 3G dan lebih tinggi, proses registrasi melibatkan mekanisme yang lebih kompleks, sehingga lebih aman. Namun, untuk 2G, sistemnya sangat rentan,” imbuh Ariyanto.

Meskipun operator seluler berusaha menggagalkan praktik-praktik ini, mereka menyatakan bahwa deteksi terhadap BTS palsu tidaklah mudah. Melalui sensor di BTS, mereka bisa mendeteksi adanya interferensi, namun BTS palsu berukuran kecil sering kali tidak terdeteksi.

Oleh karena itu, masyarakat diminta untuk lebih waspada terhadap kemungkinan tindak penipuan melalui SMS yang dikirim dari nomor-nomor palsu. Praktik penyebaran informasi palsu, hoaks, dan konten berbahaya lainnya akan semakin sulit dihentikan jika langkah-langkah pencegahan tidak dilakukan dengan tepat.

Dalam menghadapi ancaman BTS palsu, kolaborasi antara pemerintah, operator seluler, serta masyarakat sangat diperlukan agar informasi yang diterima masyarakat tetap aman dan terpercaya. Keberadaan BTS palsu tidak hanya merugikan operator seluler, tetapi juga dapat membahayakan keamanan informasi pribadi pengguna.

Exit mobile version