Teknologi kecerdasan buatan (AI) telah mengalami evolusi yang menarik, bertransformasi dari konsep futuristik menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Menurut penelitian Pew Research Center, sekitar 28% orang Amerika mengaku menggunakan AI setidaknya sekali dalam sehari atau beberapa kali dalam seminggu. Meskipun demikian, sepuluh tahun lalu, AI lebih dianggap sebagai fiksi ilmiah oleh sebagian besar masyarakat. Kini, kita hidup di era di mana teknologi AI dan pembelajaran mesin (machine learning) merembes ke seluruh aspek kehidupan.
Perjalanan AI dimulai dengan pertanyaan penting yang diajukan Alan Turing pada tahun 1950 dalam makalahnya yang berjudul “Computing Machinery and Intelligence”. Turing menyatakan bahwa jika sebuah mesin bisa menjalani percakapan yang menyerupai manusia, bisa jadi ia dianggap cerdas. Sejak saat itu, konsep dasar AI mulai dibangun, terutama melalui pengembangan program-program awal seperti Logic Theorist yang dirancang untuk memecahkan masalah matematis dan ELIZA yang mampu mensimulasikan percakapan manusia.
Momen penting dalam pengembangan AI terjadi pada Konferensi Dartmouth 1956, di mana istilah “kecerdasan buatan” pertama kali diciptakan oleh John McCarthy. Meski konferensi ini tidak menghasilkan terobosan teknologi yang langsung terlihat, gagasan-gagasannya menjadi dasar penelitian AI selama beberapa dekade. Salah satu contoh yang menonjol adalah perkembangan robotika di Stanford dengan penciptaan Stanford Cart dan Shakey the Robot, yang menunjukkan kemampuan dasar mesin dalam mengambil keputusan dan merencanakan tindakan berdasarkan informasi yang diterima.
Namun, tidak semua fase perkembangan AI berjalan mulus; terdapat periode yang dikenal sebagai “AI winters” di mana kemajuan melambat drastis. Dua periode ini, satu pada akhir 1970-an dan satu lagi antara akhir 1980-an dan pertengahan 1990-an, disebabkan oleh harapan yang berlebihan terhadap potensi AI dan batasan teknologi saat itu, seperti kecepatan komputer yang lambat dan kapasitas penyimpanan yang terbatas.
Babak baru dalam sejarah AI dimulai dengan kemenangan IBM’s Deep Blue atas juara catur Garry Kasparov pada tahun 1997, mengukuhkan AI sebagai lebih dari sekadar konsep. Keberhasilan ini didorong oleh kemajuan dalam pengolahan pola dan algoritma keputusan yang canggih. Selanjutnya, muncul model GPT dari OpenAI pada tahun 2018, yang mendefinisikan kembali kemampuan mesin dalam mengolah bahasa alami dan menghasilkan konten yang menyerupai tulisan manusia.
Evolusi AI terus mengalami lonjakan signifikan, terutama pada tahun 2023, ketika AI terlihat lebih luas dalam aplikasi hidup, dari mobil tanpa pengemudi hingga diagnosis medis berbasis machine learning yang mampu mendeteksi kondisi kesehatan lebih awal. Hal ini menjadikan AI alat yang sangat berharga di berbagai industri, termasuk pendidikan dan pelayanan pelanggan, dengan kehadiran chatbot dan asisten virtual.
Di tengah lonjakan ini, tantangan baru muncul. Penggunaan AI menimbulkan isu etika dan privasi, menyebabkan kebutuhan akan regulasi yang lebih ketat, seperti RUU AI di Uni Eropa yang menuntut transparansi dan keadilan dalam aplikasi AI. Regulasi ini memaksa perusahaan untuk mengungkapkan cara kerja model mereka dan menjamin bahwa sistem AI memenuhi standar keselamatan dan akuntabilitas.
Menghadap masa depan, integrasi AI dengan teknologi yang sedang berkembang menunjukkan potensi yang mengasyikkan. Pembelajaran mesin diperkirakan akan membantu dalam bidang-bidang seperti manufaktur, perawatan kesehatan, dan bahkan penerapan robot dalam pekerjaan yang berisiko tinggi. Meskipun tantangan seperti pengangguran akibat otomatisasi tetap ada, potensi untuk membawa perubahan positif dalam kehidupan masyarakat sangat besar. AI bukan hanya alat; ia adalah pendorong inovasi yang dapat mendefinisikan kembali masa depan.