Di era digital saat ini, kita hidup dalam pusaran informasi yang tiada henti. Setiap hari, otak manusia diserang oleh ratusan notifikasi, video pendek, dan berita viral yang diperbarui setiap detiknya. Walaupun akses informasi ini memberi banyak manfaat, ada fenomena yang muncul dan mengancam kapasitas berpikir kita: brain rot, atau yang secara harfiah berarti "pembusukan otak".
Menurut Dr. Dito Anurogo, seorang akademisi di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Makassar, brain rot menggambarkan kondisi di mana seseorang merasa pemikirannya tumpul, sulit berkonsentrasi, dan kehilangan daya kritis akibat mengonsumsi konten digital yang dangkal dan instan. Dalam kondisi ini, informasi yang seharusnya membantu justru membuat otak kita seperti ladang subur yang terendam air hingga menjadi rawa, menghalangi pertumbuhan dan kreativitas.
Dampak dari brain rot sangat luas, tidak hanya mempengaruhi individu tetapi juga masyarakat. Berikut adalah beberapa aspek yang terpengaruh:
-
Neurologi: Dopamine Hijacking
Saat kita scrolling di media sosial, otak kita mendapatkan semburan dopamin, zat kimia yang memicu perasaan senang. Proses ini mirip dengan mekanisme kecanduan, di mana semakin sering kita mendapatkan "hadiah" ini, semakin besar dosis yang dibutuhkan untuk merasakan kepuasan yang sama. Akibatnya, otak kehilangan minat terhadap hal-hal yang memerlukan usaha lebih, seperti membaca buku atau berpikir kritis. -
Sosiologi: Budaya Konsumsi Informasi yang Dangkal
Dalam ekonomi perhatian, perusahaan teknologi berjuang merebut fokus kita. Hal ini menciptakan budaya di mana opini cepat mendominasi, menggantikan analisis mendalam. Banyak orang kini membentuk pandangan hanya berdasar judul berita tanpa membaca isi, yang berujung pada terjebaknya individu dalam lingkaran informasi yang tidak membuka ruang untuk diskusi sehat. - Psikologi: Burnout Digital dan Krisis Identitas
Paparan teknologi yang berlebihan juga berdampak pada kesehatan mental, menyebabkan burnout digital yang membuat individu lelah secara emosional. Ini diperparah dengan fenomena comparison culture, di mana individu terus-menerus membandingkan hidup mereka dengan kisah "sempurna" di media sosial, yang justru meningkatkan kecemasan dan ketidakpercayaan diri.
Di ranah pendidikan, efek brain rot juga mulai dirasakan. Dr. Dito Anurogo mencatat bahwa banyak guru dan dosen mengeluhkan sulitnya siswa berkonsentrasi dalam waktu lama dan kecenderungan mereka untuk memilih soal pilihan ganda yang lebih mudah dibandingkan soal uraian yang menuntut pemikiran kritis. Jika dibiarkan, generasi mendatang mungkin tumbuh tanpa kemampuan berpikir yang kuat, lebih mudah teralihkan oleh distraksi.
Mengingat dampak mengkhawatirkan dari brain rot, ada langkah-langkah yang bisa diambil untuk memulihkannya. Beberapa di antaranya adalah:
- Digital Detox: Batasi penggunaan media sosial atau perangkat digital dalam waktu tertentu.
- Mindfulness: Latih kesadaran dalam setiap aktivitas, seperti makan bersama tanpa gangguan gadget.
- Konsumsi Conten Berkualitas: Pilih bacaan yang mendalam daripada hanya bergantung pada ringkasan.
- Latihan Fokus: Biasakan diri untuk membaca atau menyelesaikan tugas tanpa distraksi.
- Kurangi Multitasking Digital: Fokus pada satu tugas pada satu waktu untuk mencegah terbagi konsentrasi.
Banyak informasi memang tidak selalu lebih baik; yang penting adalah bagaimana kita memilah, memahami, dan menggunakannya dengan bijak. Keseimbangan antara konsumsi informasi dan refleksi mendalam adalah kunci agar tidak tenggelam dalam kebisingan digital. Dengan cara ini, otak kita bisa terus subur dan produktif, tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk kemajuan masyarakat secara keseluruhan.