WASHINGTON — Wedam Minyila, seorang pemuda berusia 19 tahun, yang menderita penyakit sel sabit, menghadapi harapan dan keraguan saat memulai perjalanan baru dalam pengobatan genetik. Dalam kunjungannya ke Rumah Sakit Nasional Anak di Washington, D.C., ia menjalani proses pengumpulan sel induk, langkah pertama dari terapi gen yang revolusioner. “Saya memilih untuk percaya sebagian,” ujarnya, sambil mengakui keraguannya tentang efektivitas prosedur ini. “Tapi juga ada skeptisisme: Apakah ini benar-benar akan berhasil?”
Penyakit sel sabit adalah gangguan genetik yang berakibat pada bentuk sel darah merah yang abnormal, menyebabkan rasa sakit yang parah, risiko stroke, dan kerusakan organ. Di Amerika Serikat, lebih dari 100.000 orang, sebagian besar di antaranya adalah masyarakat kulit hitam, hidup dengan penyakit ini. Pengobatan genetik yang disetujui oleh FDA, yang dikembangkan oleh Vertex Pharmaceuticals dan Bluebird Bio, menawarkan harapan baru bagi para pasien yang selama ini menahan rasa sakit kronis.
Namun, akses terhadap terapi ini masih terbatas. Hanya beberapa puluh pasien yang telah menerima pengobatan sejak disetujui, terhalang oleh harga tinggi — sekitar $2,3 juta untuk terapi dari Vertex dan $3,1 juta dari Bluebird. Prosedur yang memakan waktu dan rumit ini membuat banyak rumah sakit kesulitan dalam menerapkan terapi tersebut. “Di Rumah Sakit Nasional, hanya 10 orang yang telah memulai proses ini dari sekitar 1.500 pasien yang kami rawat,” kata Dr. David Jacobsohn, kepala program transplantasi darah dan sumsum tulang di rumah sakit itu.
Berikut adalah beberapa poin kunci mengenai terapi gen untuk penyakit sel sabit yang menarik perhatian:
-
Proses Pengobatan yang Panjang: Setelah mengumpulkan sel induk, sel-sel tersebut akan dikirim ke laboratorium di Tennessee untuk dimodifikasi menggunakan alat penyunting gen CRISPR, agar dapat memproduksi sel darah merah yang sehat.
-
Kans Kehidupan Baru: Menurut Dr. Jacobsohn, pengobatan ini bukan hanya menawarkan terapi, tetapi juga potensi untuk menyembuhkan dan meningkatkan kualitas hidup pasien. “Ini sangat kuat dibandingkan apa yang bisa kami berikan lima atau sepuluh tahun yang lalu,” ujarnya.
-
Resiko dan Pengawasan: Meski menjanjikan, terapi ini bukan tanpa risiko. Pasien menghadapi pengobatan kemoterapi intensif yang dapat menyebabkan efek samping serius, seperti infeksi dan masalah pencernaan.
- Kendala Akses dan Biaya: Banyak pasien yang masih terhambat oleh prosedur izin asuransi yang ketat dan harga yang sangat tinggi, yang membuat hanya sedikit rumah sakit yang mampu menyediakan terapi ini.
Wedam, yang melihat adiknya Wekem sembuh setelah transplantasi sel induk, berharap terapi ini juga dapat memberikan harapan baru. “Jika semua orang melihat saya dan melihat bahwa itu berhasil, mereka akan memiliki harapan,” katanya. Meski optimisme hadir, dia tetap skeptis dan memperkirakan peluang keberhasilannya hanya sekitar 60%. “Tetap saja, jika ada kesempatan untuk masa depan yang lebih sedikit rasa sakit, itu layak dicoba,” pungkas Wedam.
Setelah langkah-langkah pengobatan ini, perjalanan hidup Wedam berpotensi berubah, dengan harapan untuk menjalani kehidupan yang lebih baik tanpa rasa sakit yang sebelumnya mengoyak kualitas hidupnya.