Read

Google Diduga Jadi Alat Bantu Israel Dalam Usaha Musnahkan Palestina

LONDON – Proyek Nimbus yang diinisiasi oleh pemerintah Israel telah mengguncang opini publik seiring dengan terungkapnya keterlibatan Google dan Amazon dalam proyek ini. Proyek yang dirancang sebagai tender kontrak untuk layanan komputasi awan ini dianggap oleh banyak pihak sebagai alat yang mendukung agresi militer Israel terhadap Palestina. Detail mengenai kolaborasi antara kedua raksasa teknologi tersebut dan pemerintah Israel menunjukkan adanya kekhawatiran serius mengenai dampak terhadap hak asasi manusia dan potensi genosida di wilayah konflik.

Menurut laporan dari The Intercept, dokumen pengadaan pemerintah Israel setebal 63 halaman menjelaskan bahwa perusahaan-perusahaan besar termasuk Google dan Amazon diharuskan memberikan layanan komputasi awan kepada beberapa produsennya yang bergerak di bidang teknologi pertahanan. Meskipun rincian spesifik mengenai layanan yang diberikan tidak dijelaskan secara rinci, diketahui bahwa banyak dari pelanggan Nimbus termasuk kementerian dan lembaga yang bertanggung jawab atas pengembangan drone, rudal, serta senjata lain yang digunakan dalam serangan terhadap Gaza dan warga Palestina.

Sejak eskalasi konflik pada 7 Oktober 2023, lebih dari 36.000 orang dilaporkan tewas dan lebih dari 80.000 lainnya mengalami luka-luka akibat agresi militer Israel di Gaza. Mayoritas dari korban tersebut adalah warga sipil, termasuk anak-anak, yang membuat situasi kemanusiaan di wilayah tersebut semakin mengenaskan.

Matt Mahmoudi, seorang peneliti dari Amnesty International, menyoroti pentingnya perusahaan-perusahaan teknologi seperti Google dan Amazon untuk bertanggung jawab atas dampak sosial dari produk dan layanan mereka. “Jika perusahaan-perusahaan ini terlibat dalam kegiatan yang dapat berpengaruh pada warga Palestina, mereka wajib melakukan uji tuntas hak asasi manusia untuk mencegah dan memitigasi potensi pelanggaran yang mungkin terjadi,” jelas Mahmoudi. Hal ini menegaskan perlunya langkah-langkah untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang lebih lanjut, terutama yang berkaitan dengan hubungan antara perusahaan teknologi dan produsen senjata.

Proyek Nimbus, yang memiliki nilai kontrak sekitar USD 1,2 miliar (setara dengan Rp 2 triliun), tidak hanya mencakup penyediaan layanan cloud tetapi juga berbagai alat pembelajaran mesin dan sistem komunikasi online seperti Google Meet. Namun, protes publik meluas menuntut transparansi dari kedua raksasa teknologi tersebut serta menuntut mereka untuk mempertimbangkan kembali hubungan mereka dengan pemerintah Israel, yang sedang menghadapi kritik internasional akibat kebijakan militernya di Gaza.

Berbagai elemen masyarakat sipil dan aktivis hak asasi manusia telah mendesak agar Google dan Amazon tidak hanya melihat aspek bisnis semata, tetapi juga mempertimbangkan implikasi moral dari keterlibatan mereka dalam proyek yang dapat berkontribusi pada pelanggaran hak asasi manusia. Dalam konteks ini, banyak pihak berharap agar perusahaan-perusahaan ini mengikuti standar etiika yang lebih tinggi dan dapat berpartisipasi dalam mempromosikan perdamaian di kawasan yang dilanda konflik.

Keterlibatan Google dan Amazon dalam Proyek Nimbus tidak hanya menyisakan pertanyaan mengenai tanggung jawab perusahaan dalam isu hak asasi manusia, tetapi juga mencerminkan kerentanan hubungan antara teknologi dan militer dalam konteks konflik yang sedang berlangsung. Publik menunggu langkah dari kedua perusahaan untuk menanggapi protes yang semakin meluas dan untuk menjelaskan bagaimana mereka berencana untuk membuat komitmen yang jelas terhadap perlindungan hak asasi manusia di tengah ketegangan yang sedang terjadi di Gaza dan wilayah sekitarnya.

Bagas Saputra adalah penulis di situs cungmedia.com. Cung Media adalah portal berita dan media online yang menyajikan informasi terkini, menarik, dan viral seputar peristiwa lokal hingga nasional dengan gaya yang informatif dan mudah diakses.

Berita Terkait

Back to top button