Read

Gawat! Indonesia Terancam Masuk 10 Besar Kasus Kekerasan Seksual Anak

Jakarta, Cung Media – Dalam sebuah laporan yang mengkhawatirkan, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengungkapkan bahwa Indonesia kini berada di peringkat sepuluh besar dunia dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak di dunia maya. Hal ini memunculkan keprihatinan yang mendalam mengenai perlindungan anak-anak di era digital yang semakin rentan terhadap berbagai ancaman.

Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, menjelaskan bahwa kekerasan seksual terhadap anak tidak lagi memerlukan pertemuan langsung antar pelaku dan korban. Dengan memanfaatkan teknologi, kejahatan ini dapat dilakukan melalui berbagai platform daring, termasuk media sosial. Retno memberikan contoh nyata, seperti anak-anak yang diminta melakukan tindakan tidak senonoh melalui siaran langsung tanpa menyadari bahaya yang mengintai.

"Pembatasan media sosial bagi anak-anak sangat diperlukan untuk melindungi mereka dari ancaman ini," ujar Retno dalam sebuah wawancara di Jakarta. Ia menambahkan bahwa negara-negara lain, seperti Australia dan Tiongkok, telah lebih dulu menerapkan kebijakan serupa, dan Indonesia diharapkan segera mengambil langkah yang sama untuk menjaga keamanan anak-anak.

Menurut FSGI, tingkat pengawasan orang tua terhadap aktivitas daring anak-anak seringkali minim, terutama karena tidak semua orang tua memiliki pemahaman yang cukup mengenai dunia digital. Banyak anak memiliki akun media sosial seperti Instagram dan TikTok, yang bisa sulit untuk diawasi. Hal ini menciptakan celah bagi predator seksual untuk melakukan aksinya.

Berikut adalah beberapa faktor yang menyebabkan meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap anak di dunia maya:

  1. Kesepian dan Kegalauan Anak: Banyak anak-anak yang mengalami perasaan galau yang cenderung memanfaatkan media sosial sebagai saluran curahan hati. Predator sering kali menyasar anak-anak yang emosional ini, mendekati mereka melalui pesan langsung dengan tampilan yang penuh perhatian.

  2. Jalinan Hubungan Manipulatif: Setelah mendekati korban, pelaku biasanya membangun hubungan yang manipulatif. Dalam waktu singkat, korban mungkin merasa nyaman dan menganggap pelaku sebagai sahabat atau pasangan.

  3. Permintaan Konten Tidak Senonoh: Dalam beberapa bulan, pelaku mulai meminta pertukaran foto atau video yang tidak pantas, menyalahgunakan kepercayaan korban.

  4. Pemerasan dan Eksploitasi: Setelah mendapatkan materi yang diinginkan, pelaku tidak jarang melakukan pemerasan atau bahkan menjual materi tersebut, membuat korban terjebak dalam jaring eksploitasi seksual yang berbahaya.

Retno menyatakan bahwa langkah pembatasan akses media sosial bagi anak-anak bukan hanya untuk mengurangi jumlah kasus, tetapi juga mencegah potensi kekerasan seksual di masa mendatang. Ia menganggap ini sebagai perlindungan nyata yang sangat penting bagi anak-anak di Indonesia.

"Perlindungan anak harus menjadi prioritas kita. Kita tidak bisa membiarkan anak-anak kita menjadi korban di dunia maya yang tidak terkontrol ini," tegasnya.

Melihat maraknya permasalahan ini, sangat penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi anak-anak. Mengingat dampak negatif dari kekerasan seksual dapat berpengaruh jangka panjang terhadap mental dan perkembangan anak, langkah proaktif harus segera dilakukan untuk melindungi generasi mendatang dari ancaman yang semakin kompleks di dunia digital.

Bagas Saputra adalah penulis di situs cungmedia.com. Cung Media adalah portal berita dan media online yang menyajikan informasi terkini, menarik, dan viral seputar peristiwa lokal hingga nasional dengan gaya yang informatif dan mudah diakses.

Berita Terkait

Back to top button