Induk perusahaan Instagram dan Facebook, Meta, baru-baru ini mengumumkan perubahan signifikan pada standar komunitas terkait konten LGBTQ+. Kebijakan baru ini muncul seiring dengan kebijakan Presiden Amerika yang terpilih, Donald Trump, yang mengakhiri berbagai inisiatif yang mendukung kesetaraan ras serta perlindungan hak-hak komunitas LGBTQ+. Langkah ini memicu kontroversi di kalangan pengguna dan para aktivis.
Dalam perubahan terbaru, Meta mengizinkan konten yang menuduh adanya penyakit mental atau kelainan terkait dengan jenis kelamin atau orientasi seksual. Hal ini merujuk pada wacana politik dan agama seputar transgenderisme dan homoseksualitas. Sebuah materi bocoran yang ditinjau oleh The Intercept menunjukkan bahwa konten yang dapat diterima mencakup ungkapan kasar seperti “kaum gay adalah orang aneh” atau “lihatlah banci itu.” Meskipun demikian, Meta belum memberikan tanggapan resmi terhadap materi yang bocor.
Selain izin untuk mendiskusikan isu-isu berbasis gender dalam konteks pekerjaan militer dan penegakan hukum, pedoman baru ini juga memperbolehkan konten yang mendukung pandangan agama tertentu mengenai orientasi seksual. Namun, Meta menekankan bahwa konten yang secara eksplisit menargetkan individu atau sekelompok orang berdasarkan karakteristik yang dilindungi tetap dilarang.
Kekhawatiran muncul dari para kreator dan aktivis LGBTQ+ yang menyatakan bahwa perubahan ini dapat membungkam suara mereka serta menambah stigma dan diskriminasi. CEO dari firma pemasaran The Postcard Agency, Jonathan Ochart, menyatakan, “Kebijakan baru Meta terkait perilaku kebencian memberi lampu hijau kepada pengguna untuk menyebarkan retorika kebencian terhadap orang-orang LGBTQ+, sesederhana itu.”
Scott Seitz, CEO SPI Marketing, juga mengungkapkan keprihatinan dengan mengatakan bahwa dampak dari kebijakan ini dapat berakibat fatal, seperti meningkatnya angka bunuh diri dan diskriminasi yang meluas terhadap perempuan dan komunitas lainnya. Meskipun demikian, tidak semua kreator melihat perubahan ini secara negatif. Beberapa dari mereka percaya bahwa reaksi terhadap kebijakan baru Meta justru dapat meningkatkan eksposur konten politis, yang membuat isu-isu LGBTQ+ lebih terlihat.
“Kreator seperti saya sudah sangat terbiasa dengan interaksi positif dan negatif di laman saya. Perubahan ini mungkin akan meningkatkan interaksi negatif, tetapi tidak sepenuhnya mengecewakan,” ungkap seorang kreator nonbiner bernama SK Smigiel. Penilaiannya menunjukkan bahwa setiap visibilitas pada akun kreator LGBTQ+ masih bisa dianggap sebagai hal positif.
Dalam konteks ini, CEO Meta, Mark Zuckerberg, menjelaskan bahwa langkah tersebut merupakan bagian dari upaya untuk mengurangi penyensoran berlebihan dan kembali ke akar kebebasan berekspresi. Namun, ia juga mengakui bahwa perubahan tersebut kemungkinan akan menyebabkan munculnya konten negatif di berbagai platform yang dikelola Meta.
Bersamaan dengan ini, Meta akan menghentikan program pemeriksaan fakta yang telah dijalankan sebelumnya. Kebijakan ini tentunya menghadapi risiko sanksi mengingat Undang-Undang Layanan Digital Eropa mewajibkan platform untuk menghapus konten ilegal, termasuk ujaran kebencian. Ini menjadi penting, terutama ketika aduan terkait konten berbahaya semakin meningkat.
Seiring dengan pengumuman ini, komunitas LGBTQ+ tetap bersikap waspada dan memperhatikan dampak dari kebijakan baru Meta. Hal ini menandai satu titik balik yang signifikan di dunia media sosial dan tanggung jawab platform dalam menjaga kesejahteraan penggunanya.