Administrasi Biden di Amerika Serikat dilaporkan tengah mempersiapkan langkah untuk membatasi ekspor cip yang berbasis kecerdasan buatan (AI) dan teknologi canggih lainnya ke sejumlah negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Langkah ini diyakini akan mempengaruhi perkembangan teknologi dan bisnis AI yang sedang berkembang di kawasan tersebut.
Pembatasan ekspor ini ditujukan untuk mencegah akses negara-negara yang dianggap sebagai musuh oleh AS, seperti Cina dan Rusia, terhadap teknologi canggih buatan Amerika. Menurut laporan oleh Bloomberg, AS telah mengelompokkan negara-negara berdasarkan akses mereka terhadap produk teknologi dengan pembagian sebagai berikut:
1. Sekutu dekat Amerika, termasuk Jepang, Australia, Taiwan, dan negara-negara dalam Uni Eropa, akan mendapatkan akses penuh untuk produk cip canggih tersebut.
2. Negara-negara Asia Tenggara, termasuk Malaysia dan Indonesia, serta negara-negara Timur Tengah, akan menerima akses terbatas. Namun, mereka diharuskan untuk mematuhi ketentuan keamanan dan hak asasi manusia yang ditetapkan oleh pemerintah AS.
3. Negara-negara yang dianggap musuh, seperti Cina, Rusia, Myanmar, dan Iran, akan sepenuhnya dilarang untuk mengimpor produk cip AI dan teknologi terkait.
Dampak dari pembatasan ini diperkirakan sangat signifikan, terutama bagi ambisi negara-negara Asia Tenggara untuk mengembangkan pusat data global dan infrastruktur digital. Dengan terbatasnya akses terhadap teknologi canggih, peluang bagi perkembangan industri AI di Indonesia dan negara-negara sekitarnya menjadi terhambat.
Selain itu, tindakan ini mencerminkan kecemasan pemerintah AS terhadap potensi penyalahgunaan teknologi oleh negara-negara dalam kategori kedua. Dalam beberapa kasus, negara-negara ini dianggap sebagai perantara yang mungkin akan berusaha menghindari sanksi teknologi yang ditujukan kepada negara-negara dalam kategori musuh. Sebagai contoh, sebuah perusahaan di Malaysia pernah masuk dalam daftar entitas yang dilarang oleh pemerintah AS pada 2011 karena keterlibatannya dalam penjualan semikonduktor untuk keperluan militer ke Rusia.
Sehubungan dengan hal ini, untuk memperoleh status sebagai Verified End User (VEU), negara-negara dalam kategori kedua harus menjalani pengawasan ketat terhadap penggunaan cip tersebut. Langkah ini diambil sebagai bentuk antisipasi agar teknologi canggih tidak jatuh ke tangan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Keputusan ini juga berdampak langsung pada pasar saham, dengan harga saham perusahaan-perusahaan seperti Nvidia dan AMD mengalami penurunan masing-masing sebesar 1% dan 4,3%. Hal ini menunjukkan ketidakpastian yang dihadapi industri semikonduktor di tengah kebijakan baru ini.
Dari perspektif Indonesia, langkah tersebut memunculkan tantangan baru bagi pengembangan sektor teknologi dan bisnis AI. Sebagai negara yang sedang berusaha menjadi pusat inovasi teknologi di kawasan Asia Tenggara, akses terbatas terhadap cip AI dan teknologi canggih mungkin akan mengurangi daya saing Indonesia dalam industri global. Pemerintah dan pelaku industri di Indonesia harus menyiapkan strategi dan kebijakan untuk menghadapi perubahan yang diakibatkan oleh kebijakan baru dari AS ini, agar tetap dapat berkontribusi secara maksimal dalam perkembangan teknologi di masa depan.