Kehadiran DeepSeek, aplikasi kecerdasan buatan (AI) yang dikembangkan di Cina, menjadi sorotan di pasar saham teknologi AS setelah harga saham perusahaan-perusahaan seperti Nvidia mengalami penurunan signifikan pada perdagangan di hari Senin (27/1). Dengan statusnya sebagai aplikasi paling banyak diunduh di Apple App Store di AS, DeepSeek terancam diblokir akibat kekhawatiran terhadap implikasi keamanan dan privasi yang ditimbulkannya.
Sekretaris Pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, menyatakan bahwa Dewan Keamanan Nasional AS sedang menangani isu ini, seiring dengan keputusan Angkatan Laut AS yang melarang penggunaan DeepSeek. Larangan tersebut dikeluarkan karena potensi masalah keamanan serta pertimbangan etika yang menyertainya. Menurut Calli Schroeder, Pimpinan bidang AI dan Hak Asasi Manusia di Pusat Informasi Privasi Elektronik (EPIC), terdapat kekhawatiran mendalam terkait bagaimana DeepSeek mengelola data pribadi penggunanya.
Sebagian besar model AI, termasuk DeepSeek, bergantung pada basis data yang sensitif, dan ada kekhawatiran bahwa kebangkitan DeepSeek dapat dijadikan alasan untuk meragukan regulasi yang lebih ketat terhadap perusahaan teknologi besar, layaknya kasus larangan TikTok. “Masalah privasi dan keamanan data sangat valid pada DeepSeek,” ungkap Schroeder. Pihaknya juga menekankan bahwa pemanfaatan data oleh perusahaan-perusahaan AS tidak luput dari masalah serupa.
DeepSeek diketahui mengumpulkan data masukan dari pengguna, termasuk alamat IP dan pola penekanan tombol, untuk melatih model AI-nya. Kebijakan privasinya menyebutkan bahwa informasi pribadi pengguna disimpan di server yang berlokasi di Cina, menimbulkan kekhawatiran bahwa data tersebut dapat diakses pemerintah Tiongkok, terutama dalam konteks penggunaan AI di lingkungan yang sensitif.
Berbagai kalangan mendukung langkah-langkah pengawasan yang lebih ketat terhadap DeepSeek. Douglas Schmidt, Dekan School of Computing, Data Sciences, and Physics di William & Mary, menyatakan bahwa risiko privasi terkait penggunaan DeepSeek berpotensi sebanding dengan TikTok, dengan perbedaan mendasar terletak pada jenis data yang dikumpulkan. “Informasi yang dikumpulkan oleh pemilik LLM dapat memberikan wawasan jauh lebih dalam tentang kepribadian dan minat pengguna,” jelas Schmidt.
Sementara itu, berbagai pihak di industri teknologi bersikap tegas terkait perbandingan penggunaan teknologi di AS dan Cina. Khawatir akan dampak jangka panjang terhadap keamanan nasional, beberapa ahli, termasuk David Sacks, mantan penasihat Donald Trump, berpendapat bahwa DeepSeek menyalin dasar dari produk OpenAI untuk pengembangan teknologi mereka, yang bisa berujung pada aplikasi jahat.
Kekhawatiran ini semakin mendalam ketika mengingat pengalaman serangan siber yang dialami DeepSeek, yang pada Senin lalu membatasi pendaftaran baru akibat masalah keamanan. Beberapa pakar berpendapat bahwa jika tidak ditangani dengan serius, teknologi ini dapat berfungsi sebagai alat untuk kampanye disinformasi dan penyebaran propaganda, yang berpotensi merusak demokrasi di AS.
Ben Winters, Direktur AI dan Privasi Data di Consumer Federation of America, mengingatkan bahwa meskipun ada risiko nyata terkait DeepSeek, perusahaan-perusahaan teknologi AS juga memiliki rekam jejak mengecewakan dalam pengelolaan data pribadi, yang tidak seharusnya diabaikan. “Hanya karena mereka beroperasi di AS bukan berarti mereka tidak melanggar privasi pengguna,” ujarnya.
Serangkaian kekhawatiran ini menciptakan tekanan bagi pemerintah AS untuk kembali meninjau kebijakan regulasi terhadap teknologi asing, terutama yang memiliki implikasi besar bagi privasi dan keamanan data. Keputusan mengenai masa depan DeepSeek di AS tidak hanya akan menentukan nasib perusahaan, tetapi juga menciptakan preseden baru bagi pengawasan dan regulasi terhadap perusahaan teknologi secara keseluruhan.