Polemik mengenai kratom, tanaman yang berasal dari Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya, masih terus bergulir. Sejumlah eksportir melaporkan telah dirugikan akibat kegagalan dalam mengirim ribuan ton kratom, salah satunya disebabkan oleh kompleksitas aturan dan izin ekspor dari pemerintah. Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Profesor Masteria Yunovilsa Putra, menyoroti adanya pro dan kontra yang mengelilingi tanaman bernama ilmiah Mytragina speciosa ini.
Menurut Masteria, sejak setahun lalu, BRIN telah diminta pemerintah untuk melakukan penelitian mendalam mengenai kratom, dengan tujuan memahami baik dampak negatif maupun positif dari tanaman tersebut. "Kratom merupakan tanaman asli Indonesia, pastinya ada pandangan pro dan kontra. Kami diminta meneliti potensi manfaat dan efek sampingnya," ujarnya dalam percakapan melalui telepon.
Masteria mencatat bahwa aturan ekspor kratom yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan lebih bertujuan untuk menjaga kualitas produk sebelum dipasarkan di luar negeri. Di antaranya, ada perhatian khusus terhadap isu kontaminasi logam berat dan mikrobiologi, yang pernah menyebabkan Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) memberikan sertifikasi import alert terhadap kratom dari Indonesia. "Kami berharap peraturan ini bisa menjadi upaya diplomasi agar import alert tersebut bisa dicabut," tegasnya.
Dalam konteks ini, Masteria menekankan pentingnya kolaborasi antara berbagai pihak, termasuk Kementerian Kesehatan, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mempercepat riset mengenai kratom. "Diskusi bersama diperlukan untuk menjadikan justifikasi saintifik penggolongan kratom bisa diterima oleh semua pihak," tambahnya.
Sebagai langkah proaktif, Masteria mengingatkan bahwa pada bulan Maret mendatang, akan ada pertemuan UN Commission on Drugs yang membahas isu kratom. Dengan beberapa negara di Eropa dan Amerika yang berusaha melarang penggunaan kratom, risiko bagi petani dan eksportir akan meningkat jika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memutuskan untuk menggolongkan kratom sebagai psikotropika.
"Jika WHO memutuskan untuk memasukkan kratom ke dalam golongan psikotropika, hal ini pasti akan berimplikasi besar. Aturan yang ada dapat menghambat ekspor karena sejumlah negara mungkin akan mengadopsi kebijakan tersebut," jelasnya.
Di sisi lain, BRIN terus mengedepankan riset yang berbasis sains untuk menemukan manfaat dari kratom, seperti potensi antikanker, antiinflamasi, dan analgesik. "Kami hanya berpegang pada hasil penelitian. Jika kratom memiliki manfaat, kami akan menyampaikannya. Namun, jika ada sisi negatifnya, kami juga akan menyampaikan hal tersebut," katanya.
Dengan berpegang pada data dan penelitian yang kuat, BRIN berupaya untuk mendukung kebijakan yang berlandaskan sains. Keputusan akhir terkait penggolongan dan penggunaan kratom di tangan regulator, yang akan memutuskan berdasar penelitian yang ada. Dengan kompleksitas yang dihadapi dalam kebijakan dan riset, masa depan kratom sebagai komoditas ekspor dan sumber manfaat medis tetap menjadi pembahasan penting.