Penentuan awal bulan Ramadan di Indonesia selalu menjadi topik hangat di kalangan umat Islam. Dalam menyambut bulan suci ini, dua metode utama yang digunakan adalah hisab dan rukyat. Menurut peneliti ahli utama Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Jamaludin, setiap metode memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing yang menarik untuk dibahas lebih dalam.
Hisab adalah metode perhitungan posisi bulan dan matahari yang menggunakan rumus matematis. Keunggulan metode ini terletak pada tingkat akurasinya yang lebih tinggi. Dengan hisab, penentuan waktu awal puasa bisa dilakukan jauh sebelum waktu pelaksanaan, memungkinkan umat Islam untuk bersiap lebih awal. Namun, salah satu tantangan yang dihadapi adalah penolakan dari sebagian umat Islam yang merasa perlu adanya pembuktian visual melalui rukyat.
Di sisi lain, rukyat mengharuskan adanya pengamatan langsung terhadap hilal atau bulan baru. Metode ini memiliki keunggulan tersendiri karena memberikan bukti fisik dari perubahan siklus bulan. Thomas menjelaskan, “Rukyat memberikan kelebihan dalam hal visualisasi, tetapi sangat dipengaruhi oleh faktor cuaca dan kontras cahaya senja.” Hal ini berarti, pada malam tertentu, jika cuaca mendung atau gelap, pengamatan hilal bisa jadi terhalang, sehingga menimbulkan keraguan mengenai penetapan awal puasa.
Kedua metode, hisab dan rukyat, memiliki kelebihan dan kekurangan yang saling melengkapi:
-
Hisab:
- Tingkat akurasi yang lebih tinggi.
- Membantu dalam perencanaan jauh-jauh hari.
- Dapat menghasilkan data yang konsisten dan komprehensif.
- Rukyat:
- Memberikan bukti fisik yang bisa dilihat.
- Pemaduan dengan tradisi yang kuat dalam masyarakat.
- Keberadaan elemen spiritual dan syariat yang lebih terasa.
Meskipun ada perbedaan dalam metode yang digunakan, Thomas mengungkapkan bahwa penyebab utama perbedaan dalam penetapan awal bulan Hijriah di Indonesia bukan hanya terletak pada metode yang diterapkan, tetapi lebih kepada kriteria yang digunakan dalam menentukan hilal. “Ketika menggunakan kriteria tertentu, seperti ketinggian bulan serta jarak bulan dan matahari, hasil yang diperoleh biasanya bervariasi,” kata Thomas.
Harapannya, dengan terus berkembangnya metode dan teknologi, penetapan awal bulan Hijriah di masa depan dapat semakin akurat dan dapat diterima oleh semua pihak. Dengan demikian, meskipun terdapat perbedaan metode, tujuan akhir dari hisab dan rukyat tetap sama, yakni memastikan ketepatan dalam menjalankan ibadah sesuai dengan syariat Islam.
Perdebatan antara kedua metode ini menciptakan dinamika yang menarik dalam masyarakat. Banyak umat Islam merasa penting untuk mempertahankan tradisi rukyat sambil juga mengakui akurasi yang ditawarkan oleh hisab. Dalam konteks ini, kolaborasi antara kedua metode menjadi langkah yang ideal untuk menjaga harmonisasi dalam menjalankan perintah agama. Masyarakat diharapkan dapat menerima informasi yang lebih luas dan memahami keunggulan serta kelemahan masing-masing metode untuk mencapai kesepakatan yang lebih komprehensif dalam menentukan awal bulan puasa.