Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius terkait fenomena brain drain, di mana sejumlah ilmuwan, akademisi, dan tenaga profesional memilih untuk menetap di luar negeri daripada berkontribusi di tanah air. Data dari Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham menunjukkan bahwa antara tahun 2019 hingga 2022, sebanyak 3.912 warga negara Indonesia (WNI) beralih menjadi warga negara Singapura. Fenomena ini terkhusus melibatkan individu dalam rentang usia produktif, yaitu 25 hingga 35 tahun.
Menurut Hempri Suyatna, Pakar Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dari Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), masalah ini sudah berlangsung lama. “Contohnya, pada tahun 1960-an, banyak mahasiswa Indonesia yang melanjutkan pendidikan di luar negeri dan tidak kembali. Mereka lebih memilih untuk bekerja di negara lain,” ungkap Hempri. Hal ini mengindikasikan bahwa keinginan untuk mencari peluang yang lebih baik di luar negeri masih terus berlanjut.
Fenomena tersebut menjadikan Indonesia terancam kehilangan sumber daya manusia yang berkualitas dan berpotensi besar. Hempri menekankan bahwa kondisi ini menunjukkan Singapura kini dipandang sebagai lokasi yang lebih menjanjikan untuk pengembangan karier dan pendidikan. “Singapura dianggap lebih baik sebagai tempat untuk berkarier dan mendapatkan kesempatan ekonomi serta pendidikan,” lanjutnya.
Sangat disayangkan, menurut Hempri, bahwa anak-anak muda yang seharusnya berkontribusi dalam pembangunan bangsa justru memilih untuk meninggalkan Indonesia. “Tenaga-tenaga terampil ini adalah aset berharga bagi negara kita. Ketika mereka pergi, kita tidak hanya kehilangan keterampilan, tetapi juga berisiko menghadapi ketimpangan ekonomi yang lebih besar dengan negara lain,” tambahnya.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Hempri mengusulkan pentingnya penerapan konsep ‘link and match’ antara dunia pendidikan dan pasar kerja. Program ini diharapkan dapat meminimalkan pengiriman tenaga kerja terampil ke luar negeri. Ia mencatat bahwa beberapa inisiatif sudah diluncurkan, salah satunya adalah program Kampus Merdeka yang dikembangkan di era Menteri Nadiem Makarim. Program tersebut dirancang untuk meningkatkan kesiapan mahasiswa dalam memasuki pasar kerja melalui magang, wirausaha, dan pertukaran mahasiswa.
Namun, Hempri juga menggarisbawahi berbagai kendala yang ada di lapangan. Diantaranya, kurangnya pendampingan pasca-kegiatan dan orientasi pendidikan yang lebih mengutamakan nilai ketimbang proses belajar yang mendalam. “Seringkali, mahasiswa hanya berfokus untuk mendapatkan nilai, sehingga pengalaman yang didapat tidak dikembangkan dengan optimal,” paparnya.
Lebih lanjut, Hempri mendesak pemerintah untuk segera menyusun grand design pembangunan kependudukan sebagai blueprint untuk menyusun peta kebutuhan dan ketersediaan lapangan kerja yang sesuai dengan keahlian lulusan perguruan tinggi. Harapannya, dengan adanya linkage antara pendidikan dan pasar kerja, Indonesia mampu mengurangi jumlah tenaga terampil yang memilih untuk bekerja di luar negeri.
Akan tetapi, tantangan tidak berhenti sampai di situ. Dalam proses rekrutmen tenaga kerja, masih ada dominasi sistem kekerabatan atau yang lebih dikenal dengan istilah Ordal (orang dalam). “Kondisi ini mengakibatkan individu yang memiliki kompetensi tinggi belum tentu diterima di pasar kerja,” jelas Hempri, tegas menyoroti perlunya reformasi dalam sistem rekrutmen untuk menciptakan peluang berdasarkan meritokrasi.
Dengan semua dinamika ini, sangat penting bagi Indonesia untuk memikirkan langkah strategis dalam menghadapi fenomena brain drain guna mempertahankan masa depan generasi mudanya serta potensi pembangunan bangsa.