Pendidikan

Benarkah Komunisme Benci Agama? Yuk Telusuri Faktanya!

Komunisme sering kali dianggap sebagai ideologi yang berseberangan dengan agama. Pernyataan terkenal yang menyebut “agama adalah candu masyarakat” dari Karl Marx sering dikutip sebagai bukti pandangan anti-agama yang melekat pada ideologi ini. Namun, benarkah komunisme secara keseluruhan membenci agama? Untuk memahami hal ini, mari kita telusuri lebih dalam melalui sejarah dan pandangan tokoh-tokoh penting dalam gerakan komunis.

Pandangan Karl Marx tentang agama menjadi titik tolak diskusi ini. Dalam karya terkenalnya, “Critique of Hegel’s Philosophy of Right” (1844), Marx menggambarkan agama sebagai “keluhan makhluk yang tertindas”. Ia melihat agama sebagai pelipur lara dalam dunia yang penuh penindasan dan sebagai cerminan dari alienasi manusia dalam masyarakat kapitalis. Menurut Marx, agama merupakan produk dari ketidakadilan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Ia menyatakan bahwa dengan hilangnya ketidakadilan, kebutuhan akan agama pun akan menghilang. Dalam konteks ini, Marx tidak secara langsung membenci agama, tetapi lebih kepada kritik terhadap fungsi sosial agama dalam pengaturan masyarakat saat itu.

Selanjutnya, Vladimir Lenin, yang dikenal sebagai pendiri negara Soviet, memiliki pandangan lebih pragmatis dan strategis terhadap agama. Dalam esainya “Socialism and Religion” (1905), ia menyebut agama sebagai “salah satu bentuk penindasan spiritual”. Lenin menegaskan bahwa agama merupakan alat yang digunakan oleh kelas penguasa untuk mempertahankan kekuasaan dan menenangkan penderitaan kelas pekerja. Meskipun Lenin menekankan pentingnya pemisahan gereja dan negara serta kebebasan beragama, ia juga mendukung ada upaya aktif untuk mengurangi pengaruh agama melalui pendidikan dan propaganda ateisme.

Kebijakan anti-agama diimplementasikan secara sistematis di negara-negara Eropa Timur yang berada di bawah rezim komunis. Setelah Revolusi Bolshevik, kebijakan ini mencakup penyitaan gereja, penutupan masjid, dan pembunuhan banyak pemimpin agama. Aleksandr Solzhenitsyn, seorang penulis dan pembangkang dari Uni Soviet, berargumen bahwa kebencian terhadap Tuhan menjadi inti dari ideologi komunis. Ia melukiskan bahwa ateisme militan bukan sekadar hasil sampingan, tetapi sebagai bagian integral dari kebijakan komunisme.

Namun, tidak semua partai komunis mengikuti pola yang sama. Di Indonesia, Partai Komunis Indonesia (PKI) memiliki pendekatan yang berbeda. Dalam wawancara tahun 1964, pemimpin PKI, DN Aidit, menyatakan bahwa partainya menghormati Pancasila dan menganggap agama sebagai urusan pribadi. PKI memahami bahwa masyarakat Indonesia mayoritas beragama dan berusaha berkolaborasi dengan partai-partai berbasis agama untuk melawan imperialisme dan feodalisme. Aidit mengkritik penggunaan agama sebagai alat penindasan, tetapi dia tidak menolak keberadaan agama sebagai bagian dari masyarakat. Ia menekankan pentingnya pemisahan agama dari pemerintahan dan pendidikan untuk menciptakan masyarakat yang adil.

Berdasarkan berbagai pandangan tersebut, dapat dilihat bahwa sikap terhadap agama dalam komunisme tidak selalu bersifat monolitik. Sementara Marx memberikan kritik terhadap agama sebagai refleksi dari ketidakadilan sosial, Lenin menekankan perlunya menghapus pengaruh agama dengan tindakan nyata. Di sisi lain, PKI memberikan ruang bagi keberadaan agama dalam konteks perjuangan sosial. Dengan demikian, hubungan antara komunisme dan agama sangat bergantung pada konteks sosial, politik, dan sejarah dari masing-masing negara serta kebijakan partai yang berkuasa.

Fajar Nugraha adalah penulis di situs cungmedia.com. Cung Media adalah portal berita dan media online yang menyajikan informasi terkini, menarik, dan viral seputar peristiwa lokal hingga nasional dengan gaya yang informatif dan mudah diakses.

Berita Terkait

Back to top button