Nissan dan Honda baru-baru ini mengumumkan niat mereka untuk menjalin kerja sama melalui integrasi bisnis dan pembentukan sebuah perusahaan holding. Namun, langkah ini langsung mendapatkan tanggapan skeptis dari mantan CEO Nissan, Carlos Ghosn, yang menyebut merger tersebut sebagai langkah putus asa. Dalam wawancara yang diberikan kepada Bloomberg Television, Ghosn menegaskan bahwa kesepakatan tersebut tidak memiliki dasar yang kokoh.
“Ini adalah langkah putus asa. Ini bukan kesepakatan yang pragmatis karena, sejujurnya, sinergi antara kedua perusahaan ini sulit ditemukan. Praktisnya, tidak ada hubungan saling melengkapi antara keduanya. Mereka berada di pasar yang sama, di produk yang sama. Merek mereka sangat, sangat mirip,” jelas Ghosn. Ulasan ini menyoroti komunikasi mendalam yang dibutuhkan untuk menghasilkan sinergi yang berarti, di tengah persamaan yang ada antara Nissan dan Honda.
Ghosn juga berpendapat bahwa merger ini bukan hanya dipicu oleh dinamika pasar dan kebutuhan industri, melainkan juga oleh tekanan dari Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang (METI). Menurut Ghosn, METI memiliki pengaruh yang besar dalam keputusan ini, mendorong Honda untuk menyetujui kesepakatan yang sebenarnya tidak berdasarkan pada logika industri yang jelas. “Setelah tinggal di Jepang selama bertahun-tahun, saya sangat memahami betapa kuatnya pengaruh METI,” tambahnya.
Dalam pandangan Ghosn, situasi ini membawa pada dilema antara mempertahankan kinerja perusahaan dan mempertahankan kendali atas proses yang ada. “Jika bisa memiliki keduanya, itu lebih baik. Namun, di banyak kasus, Anda harus memilih, dan tanpa ragu, dengan METI di sekitar, mereka lebih memilih kendali daripada kinerja,” ungkap Ghosn.
Tantangan yang dihadapi oleh Nissan dan Honda juga tidaklah kecil. Ghosn menyoroti kesulitan yang mungkin muncul dalam menyatukan budaya kerja dan pendekatan teknologi antara kedua perusahaan. “Kamu perlu memahami Honda adalah organisasi yang kuat di bidang teknik. Mereka sangat unggul dalam teknik. Nissan juga sangat bangga dengan kemampuan teknik mereka sendiri,” paparnya. Dalam konteks ini, persoalan utama akan terletak pada teknologi mana yang akan diadopsi oleh perusahaan baru yang terbentuk—apakah dari Nissan, Honda, atau mungkin gabungan dari keduanya.
Saat ini, Nissan sedang berada dalam kondisi krisis yang mendalam. Petinggi perusahaan telah mengumumkan bahwa mereka berada dalam ‘mode darurat’, sebuah indikasi bahwa masalah serius tengah dihadapi perusahaan. Dalam situasi seperti ini, keputusan untuk melakukan merger dapat terlihat sebagai langkah yang coba mengejar stabilitas, namun, seperti yang ditetapkan Ghosn, langkah ini dapat berujung pada lebih banyak tantangan ketimbang solusi yang diharapkan.
Rencana kerja sama antara Nissan dan Honda mengindikasikan bahwa industri otomotif Jepang tengah mengalami dinamika yang penuh tantangan. Sementara itu, hubungan antar perusahaan otomotif juga harus terus dievaluasi dengan cermat untuk memastikan bahwa semua pihak dapat mengambil keuntungan secara optimal dari sinergi yang ada. Foundational issues such as corporate culture, technology integration, and external pressures continue to loom large as both companies navigate their future in a competitive marketplace.