Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah dalam penutupan perdagangan hari ini, Kamis, 2 Januari 2025. Menurut data yang dihimpun dari Bloomberg, rupiah ditutup di level Rp16.198 per USD, mengalami penurunan sebanyak 66 poin atau setara 0,41 persen dibandingkan posisi sebelumnya di Rp16.132 per USD. Meskipun demikian, pelemahan tersebut lebih kecil dibandingkan saat perdagangan pagi, di mana rupiah sempat melemah hingga 110 poin.
Analis pasar uang, Ibrahim Assuaibi, menjelaskan bahwa pelemahan rupiah pada hari ini menunjukkan dinamika pasar yang bervariasi. “Pada perdagangan sore ini, meskipun rupiah ditutup melemah, ada pergerakan yang lebih stabil dibandingkan pagi,” ungkapnya dalam analisis hariannya. Data dari Yahoo Finance pun mencatat bahwa rupiah berada di zona merah dengan posisi Rp16.190 per USD, turun sebanyak 100 poin atau 0,62 persen dibanding penutupan perdagangan sebelumnya.
Lebih jauh, berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah mengalami penurunan hingga mencapai level Rp16.236 per USD, turun sebanyak 79 poin dari Rp16.157 per USD. Pelemahan mata uang Garuda ini jelas menggambarkan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menghadapi dominasi dolar AS yang menunjukkan kekuatannya di pasar global.
Beberapa faktor dapat memengaruhi kondisi ini, antara lain:
1. Ketidakpastian Ekonomi Global: Gejolak ekonomi di berbagai negara dapat mempengaruhi aliran modal asing ke Indonesia.
2. Kinerja Neraca Perdagangan: Ketika neraca perdagangan mengalami defisit, tekanan terhadap nilai tukar rupiah semakin besar.
3. Kebijakan Moneter: Keputusan Bank Indonesia dalam menentukan suku bunga dapat berdampak pada stabilitas nilai tukar.
Di tengah tantangan ini, sektor manufaktur Indonesia menunjukkan tanda-tanda positif di awal tahun 2025. Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur Indonesia mencatatkan kenaikan ke level 51,2 pada Desember 2024, setelah lima bulan berturut-turut berada di zona kontraksi. Kenaikan ini didorong oleh peningkatan volume produksi dan permintaan baru di pasar domestik serta ekspor.
Dari sisi inflasi, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa inflasi bulan Desember mencapai 0,44 persen (month to month) dan 1,57 persen (year on year), menjadikannya sebagai yang terendah dalam sejarah Indonesia. Ibrahim juga menambahkan bahwa rendahnya inflasi tahun ini disebabkan oleh melemahnya daya beli dan penurunan harga bahan pangan pokok.
Tekanan terhadap rupiah akan terus berlanjut seiring dengan dinamika ekonomi yang terus berubah. Kebijakan dan tindakan yang diambil oleh pemerintah dan Bank Indonesia menjadi kunci dalam menjaga stabilitas mata uang dan mendorong pertumbuhan ekonomi ke depannya.