Pada 6 Januari 2025, Indonesia secara resmi bergabung sebagai anggota penuh dalam BRICS, kelompok ekonomi yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, serta empat anggota baru lainnya. Keputusan ini menjadikan BRICS sebagai salah satu kekuatan geopolitik utama di dunia, kini beranggotakan sepuluh negara. Bergabungnya Indonesia dalam kelompok ini menimbulkan pertanyaan terkait manfaatnya bagi sistem perpajakan nasional. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) optimis bahwa keanggotaan ini akan membuka banyak peluang bagi Indonesia dalam pengembangan perpajakan.
Penting untuk mencermati potensi manfaat perpajakan dari keanggotaan BRICS. Menurut DJP, sebelum Indonesia bergabung, negara-negara BRICS sudah mewakili sekitar 45 persen populasi dunia dan 28 persen dari output ekonomi global. Dengan tambahan Indonesia, angka-angka ini tentunya meningkat, memberikan peluang lebih besar dalam kerja sama ekonomi. Negara-negara BRICS juga menyumbang hingga 41 persen dari PDB global berdasarkan paritas daya beli, menunjukkan pasar besar yang bisa dimanfaatkan Indonesia untuk memperluas basis pajaknya.
Dalam pidatonya pada 16 Januari 2025, Presiden Prabowo Subianto menekankan pentingnya pemanfaatan keanggotaan BRICS untuk mendukung pembangunan nasional. “Kita harus memanfaatkan peluang ini untuk meningkatkan penerimaan negara, terutama di sektor pajak, guna mendukung program pembangunan yang berkelanjutan,” ucapnya dalam acara Munas Kadin. Ini mencerminkan harapan tinggi pemerintah untuk memaksimalkan manfaat keanggotaan tersebut.
Salah satu bentuk kerja sama yang dapat diperluas melalui BRICS adalah Automatic Exchange of Information (AEoI), mekanisme untuk pertukaran data perpajakan antarnegara yang bertujuan mencegah penghindaran pajak. DJP menyatakan bahwa dengan forum BRICS, Indonesia dapat mengembangkan penagihan pajak lintas negara, yang berpotensi memperkuat penegakan hukum perpajakan dalam negeri. Keanggotaan ini juga memungkinkan Indonesia untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan negara-negara seperti Brasil dan India, yang telah berhasil meningkatkan efisiensi sistem pajak mereka.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, pajak direncanakan menyumbang 82,89 persen dari total pendapatan negara, atau sekitar Rp2.490,9 triliun. DJP optimis bahwa dengan bergabungnya Indonesia dalam BRICS, peningkatan ekonomi global akan berdampak positif terhadap penerimaan pajak domestik. Investasi asing yang lebih meningkat diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi sektor perpajakan, serta mendorong integrasi ekonomi Indonesia ke dalam pasar global.
Meski demikian, ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi. Beberapa pihak mengkhawatirkan pengaruh dominan Rusia dan Tiongkok dalam BRICS, yang bisa memengaruhi pengambilan keputusan dalam organisasi tersebut. Kritik juga muncul terkait potensi kerugian hubungan Indonesia dengan mitra tradisional seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa. DJP menyatakan pentingnya menjaga kepentingan nasional sebagai prioritas dalam setiap kebijakan yang diambil di forum BRICS. “Kita harus cermat dan hati-hati dalam memanfaatkan peluang ini agar dampak negatif dapat diminimalkan,” tutur Teddy Ferdian, pegawai DJP.
Secara keseluruhan, keanggotaan Indonesia dalam BRICS menyimpan harapan akan peningkatan kerja sama multilateral di bidang perpajakan. Dengan populasi besar dan pasar ekonomi yang luas, integrasi dalam BRICS diharapkan mampu memperkuat basis pajak, meningkatkan investasi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, strategi perpajakan yang seimbang antara keuntungan ekonomi dan kedaulatan kebijakan nasional akan menjadi kunci keberhasilan dalam memaksimalkan manfaat dari keanggotaan ini. DJP menekankan, “Ini adalah kesempatan berharga yang harus dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung pembangunan berkelanjutan di Indonesia.”