Dalam beberapa tahun terakhir, teknologi pencetakan 3D telah mengalami kemajuan pesat dan telah memberikan dampak signifikan di berbagai bidang, termasuk seni, otomotif, dan perhiasan. Namun, yang paling menarik perhatian saat ini adalah potensinya untuk merevolusi industri kesehatan, terutama dalam penyediaan obat-obatan. Sebuah studi terbaru dari National Institute of Standards and Technology (NIST) menunjukkan bahwa pencetakan 3D berpotensi besar dalam membuat obat lebih mudah diakses, terfokus, dan disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
Teknik yang disebut sebagai “manufacturing terdistribusi” ini, diharapkan akan menjadi sangat penting, terutama dalam situasi darurat seperti wabah penyakit. Unit pencetakan 3D ini memiliki kemampuan untuk beroperasi bersamaan dengan fasilitas manufaktur besar di perusahaan farmasi. NIST meyakinkan pentingnya penerapan standar praktik manufaktur yang baik (Good Manufacturing Practices – GMP) untuk memastikan keamanan dan kualitas produk obat yang dihasilkan.
Salah satu keunggulan utama dari pencetakan 3D adalah kemampuannya untuk menghasilkan Obat dalam jumlah kecil, bahkan hingga ke dosis tunggal. Hal ini memungkinkan untuk menciptakan dosis yang dipersonalisasi sesuai dengan kebutuhan masing-masing pasien. Misalnya, seorang pasien muda yang membutuhkan dosis 5mg hanya dapat menemukan tablet yang diproduksi dalam dosis yang lebih besar. Melalui teknologi ini, obat dapat diproduksi dengan dosis yang tepat dan dalam berbagai bentuk sesuai preference pasien.
Pencetakan 3D juga memberikan fleksibilitas dalam format obat. Bagi pasien yang mengalami kesulitan menelan tablet, obat dapat diproduksi dalam bentuk cairan atau film yang dapat larut di mulut. Selain itu, dengan pendekatan “polypills,” beberapa obat dapat dikombinasikan menjadi satu kemasan, mengurangi beban untuk mengonsumsi beberapa pil sekaligus.
Di sisi lain, aspek psikologis dalam pengobatan anak-anak sering kali menjadi tantangan tersendiri. Teknologi pencetakan 3D memungkinkan pembuatan obat dalam bentuk yang menarik bagi anak-anak, seperti bintang atau bentuk hewan. Lebih menarik lagi, rasa pahit obat dapat diubah menjadi rasa yang lebih disukai seperti coklat atau buah-buahan. Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Molecular Pharmaceutics menyoroti teknik mikroekstrusi untuk memproduksi ibuprofen dalam bentuk yang dapat dikunyah dengan rasa jeruk dan stroberi.
Dalam hal masa depan, teknik pencetakan 3D yang sedang dikembangkan melibatkan pencetakan inkjet dan drop-on-demand, yang memungkinkan penempatan presisi bahan kimia ke dalam berbagai bentuk, seperti film, tablet, dan kapsul. NIST meyakini bahwa penerapan teknologi ini dapat meningkatkan kecepatan pengiriman vaksin kepada publik selama pandemi.
Namun, untuk mencapai potensi penuh dari pencetakan 3D dalam pembuatan obat, beberapa tantangan masih perlu diatasi. Salah satunya adalah memastikan bahwa dosis obat yang dicetak sesuai dengan standar yang ditentukan. Oleh karena itu, penting untuk menerapkan protokol keselamatan yang ketat di lokasi pembuatan obat lokal, agar hanya obat yang memenuhi standar kualitas resmi yang dihasilkan.
Dengan perkembangan ini, dapat dilihat bahwa pencetakan 3D bukan hanya sekadar teknologi inovatif; ia berpotensi menjadi bagian integral dari masa depan sistem kesehatan, menciptakan cara baru bagi pasien untuk memperoleh obat yang cocok dengan kebutuhan mereka.