Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC) dan Fokus Kesehatan Indonesia (FKI) menunjukkan bahwa 34 persen pelajar SMA di Jakarta mengalami masalah kesehatan mental. Dari penelitian yang melibatkan 741 pelajar dan 97 guru ini, terungkap bahwa 30 persen pelajar memiliki perilaku marah yang berpotensi memicu kekerasan akibat gangguan emosional mereka.
Ketua Tim Peneliti HCC, Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, menyampaikan bahwa remaja di kota besar seperti Jakarta berisiko mengalami gangguan mental. “Hasil skrining ini menggambarkan indikasi gangguan emosional dan kesehatan mental pelajar SMA. Ini merupakan risiko yang perlu dianalisis lebih mendalam,” terang Dr. Ray dalam presentasinya di Jakarta Selatan pada Selasa (17/12/2024).
Meskipun pentingnya dukungan untuk kesehatan mental remaja, kenyataannya, pelajar justru enggan curhat ke Guru BK (Bimbingan Konseling). Penelitian menunjukkan bahwa guru tidak menjadi pilihan utama bagi pelajar untuk berbagi masalah emosional. Stigma yang menyebut siswa yang berurusan dengan guru BK sebagai ‘siswa bermasalah’ menjadi salah satu alasan utama.
Hasil riset menunjukkan bahwa 67 persen pelajar SMA mengaku belum pernah mengunjungi ruang BK, dan ketika ditanyakan alasannya, 35 persen menyatakan bahwa ruang BK hanya untuk siswa bermasalah, sementara 37 persen lainnya merasa tidak perlu untuk berkonsultasi. “Data ini menunjukkan gap yang signifikan antara kebutuhan pelajar untuk mendapatkan bantuan dan keengganan mereka untuk mencari bantuan dari guru BK,” tambah Dr. Ray.
Fenomena ini menyebabkan banyak remaja lebih memilih curhat kepada teman sebaya atau mencari informasi mengenai kesehatan mental melalui media sosial. Sebanyak 94 persen pelajar SMA menjadikan sosial media sebagai sumber informasi utama terkait kesehatan jiwa, sedangkan hanya 19 persen yang mengandalkan guru mereka untuk hal tersebut.
Temuan penelitian ini mencerminkan perilaku siswa yang mencari tempat nyaman untuk mencurahkan perasaan mereka. Ruang kelas saat jam pelajaran kosong, kantin, dan bahkan toilet menjadi lokasi alternatif di mana mereka merasa lebih bebas untuk mengekspresikan diri. Hal ini menunjukkan etos peer-support yang kuat di kalangan remaja, meski kurang disertai dengan bimbingan yang tepat.
Menteri Kesehatan 2014-2019, Prof. Nila Moeloek, mengingatkan bahwa mengandalkan curhat sesama teman tidak boleh menjadi strategi utama. Dia menekankan bahwa pencegahan gangguan jiwa harus melibatkan para pendidik dan orang tua. “Curhat antar siswa tidak bisa menjadi upaya mitigasi konseling, karena bisa jadi mereka memberikan saran yang tidak akurat,” jelasnya.
Dalam konteks yang lebih luas, penelitian ini menggarisbawahi pentingnya peran guru dalam mendukung kesehatan mental siswa. Meningkatkan kesadaran dan pengertian di kalangan pendidik mengenai masalah kesehatan mental di kalangan remaja perlu menjadi fokus utama untuk menciptakan lingkungan yang lebih suportif. Sehingga, kedepannya, pelajar tidak merasa tertekan untuk berbagi perasaan mereka secara terbuka tanpa stigma.
Kondisi ini menjadi tantangan yang mesti dihadapi oleh semua pihak untuk menjamin kesehatan mental yang lebih baik bagi generasi mendatang. Untuk menciptakan rasa aman bagi siswa dalam berbagi cerita, perlu adanya pendekatan yang lebih manusiawi dari guru dan lembaga pendidikan dalam memberikan dukungan kesehatan mental serta penerimaan akan keragaman permasalahan yang dihadapi oleh siswa.