Fenomena baru muncul di dunia media sosial seiring dengan perkembangan pesat teknologi kecerdasan buatan (AI). Istilah “slop” kini menjadi pembicaraan hangat, merujuk pada konten berkualitas rendah yang dihasilkan oleh AI, termasuk teks dan gambar yang bertujuan untuk mendapatkan klik dan likes di platform sosial. Istilah ini menjadi relevan seiring dengan peningkatan jumlah konten semacam ini yang mengisi linimasa media sosial seperti Facebook dan X (sebelumnya Twitter).
Slop sering kali diciptakan oleh akun-akun tidak dikenal yang memproduksi ratusan gambar atau teks AI setiap harinya, tanpa tujuan yang jelas. Konten ini tidak hanya berbentuk hiburan semata, tetapi banyak yang mengandung muatan sensasional, seperti berita fiksi tentang bencana alam, dengan harapan dapat menarik perhatian pengguna. Sebuah penelitian dari Stanford dan Georgetown University menunjukkan bahwa postingan dari akun yang tidak diikuti oleh pengguna, yang direkomendasikan oleh algoritma Facebook, meningkat signifikan dari 8% di tahun 2021 menjadi 24% di tahun 2023. Hal ini menunjukkan bahwa sistem algoritma berfokus pada meningkatkan interaksi, meskipun interaksi tersebut berasal dari konten yang tidak valid.
Kecenderungan memposting konten yang menampilkan situasi menyedihkan, seperti anak sakit atau bencana alam, juga diperkuat oleh algoritma yang cenderung mengedepankan konten yang menarik perhatian lebih banyak. Banyak pengguna yang tidak menyadari bahwa konten ini adalah hasil dari proses kreatif AI yang tidak memiliki keterkaitan dengan kenyataan.
Kenapa slop menjadi masalah? Meskipun tidak selalu dimaksudkan untuk menipu, konten ini menyebabkan kerumitan dalam membedakan berita palsu dari fakta yang benar. Ketika lebih banyak konten buatan AI muncul, pengguna mulai meragukan bahkan gambar atau berita yang benar-benar terjadi. Dalam beberapa kasus, berita asli justru dianggap sebagai “fake news” karena kebanjiran informasi yang dihasilkan oleh AI. Lebih jauh, keberadaan slop ini mengganggu koneksi antar pengguna serta sulitnya menemukan berita yang otentik di media sosial.
Salah satu dampak yang lebih luas adalah munculnya siklus pelatihan ulang (recursive training) di mana sistem AI dilatih dengan data yang juga berasal dari konten buatan AI lainnya. Hal ini dapat menyebabkan keluaran yang semakin seragam dan berpotensi membawa kesalahan serta bias. Selain itu, produksi konten ini juga berdampak pada lingkungan, di mana model pembelajaran mendalam AI membutuhkan energi dan sumber daya yang cukup besar, dengan emisi karbon yang signifikan.
Untuk menghindari terjebak dalam perangkap slop, pengguna media sosial disarankan untuk tidak memberikan interaksi pada konten tersebut, meskipun dalam konteks negatif. Pemblokiran atau pelaporan akun yang bertanggung jawab atas slop juga dapat menjadi langkah yang efektif. Di platform seperti Facebook dan X, pengguna dapat menggunakan fitur pelaporan untuk menandai konten yang tidak relevan atau salah informasi. Mendukung pencipta konten asli melalui interaksi positif juga dapat membantu meningkatkan algoritma yang menunjukkan konten berkualitas.
Dengan demikian, meningkatnya kesadaran akan keberadaan slop ini sangat penting, baik untuk pengguna media sosial maupun bagi pengembang platform. Mengambil langkah untuk memitigasi dampak slop dapat membantu menciptakan lingkungan online yang lebih sehat dan informatif.