Ketika Indonesia resmi bergabung dengan BRICS, muncul kekhawatiran mengenai dampak negatif terhadap ekonomi negara ini, terutama jika Presiden AS Donald Trump memegang kekuasaan. Direktur China-Indonesia Desk Center of Economic and Law Studies (Celios), Muhammad Zulfikar Rakhmat, menegaskan bahwa kepemimpinan Trump dapat menimbulkan tantangan signifikan bagi negara anggota BRICS, termasuk Indonesia.
Ketidakpastian ekonomi global, yang diakibatkan oleh ketegangan perdagangan antara AS dan Tiongkok, diyakini akan berdampak pada stabilitas ekonomi di berbagai negara. Menurut Zulfikar, salah satu perhatian utama adalah potensi kebijakan proteksionisme dari AS. Trump, yang dikenal dengan sikap tegasnya, mungkin memberlakukan tarif tinggi, bahkan hingga 100% pada produk dari negara anggota BRICS yang berupaya melakukan dedolarisasi. Hal ini, jelasnya, dapat menyebabkan penurunan tajam dalam volume ekspor Indonesia, terutama produk yang sangat bergantung pada pasar AS.
Adanya ancaman dari AS ini menunjukkan bahwa menjadi anggota BRICS tidak serta merta menjamin stabilitas ekonomi bagi Indonesia. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi situasi ekonomi Indonesia pasca bergabung dengan BRICS antara lain:
Perubahan Kebijakan Perdagangan AS: Ada kemungkinan kebijakan proteksionisme Trump akan mengancam akses pasar Indonesia ke AS.
Kinerja Ekonomi Tiongkok: Sebagai anggota BRICS yang baru, ketergantungan Indonesia pada Tiongkok dapat berisiko jika ekonomi Tiongkok melambat pasca pemilihan Trump.
- Reaksi terhadap Dedolarisasi: Ancaman dari Trump terkait dedolarisasi dapat mempengaruhi aliran investasi dan perdagangan internasional Indonesia.
Pengamat menilai bahwa BRICS berpotensi menjadi penyeimbang bagi G7 yang didominasi negara-negara Barat. Namun, Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, mengingatkan bahwa Indonesia sebaiknya tidak terbatas pada hubungan dengan Tiongkok saja. Ia menekankan pentingnya memperluas kolaborasi dengan negara-negara BRICS lainnya seperti Brasil dan Afrika Selatan, serta negara Timur Tengah untuk membangun strategi ekonomi yang lebih beragam.
"Jika pemerintah terlalu pro-Tiongkok, keanggotaan Indonesia di BRICS akan kehilangan makna, karena sudah terjalin hubungan bilateral yang kuat dengan China," ujarnya. Hal ini menunjukkan bahwa keanggotaan Indonesia di BRICS harus dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kerjasama dengan berbagai negara, bukan hanya untuk memperkuat posisi di pasar Tiongkok.
Dengan berbagai tantangan yang membayangi, jelas terlihat bahwa keanggotaan Indonesia di BRICS sekaligus membawa peluang dan risiko. Dalam konstelasi geopolitik yang semakin kompleks, ketidakpastian berbicara lebih lantang mengenai perlunya strategi ekonomi yang adaptif dan inovatif untuk menghadapi potensi dampak negatif dari situasi di pasar global.