Mahalnya bahan baku menjadi tantangan serius bagi industri manufaktur di Indonesia. Meskipun Purchasing Managers’ Index (PMI) menunjukkan peningkatan pada Desember 2024, sektor ini masih menghadapi sejumlah tekanan yang menghambat pertumbuhan. Salah satu masalah utama adalah kenaikan harga barang input produksi, yang sudah menjadi masalah sejak November lalu.
Yusuf Rendy Manilet, peneliti dari Center of Reform on Economic (CoRE) Indonesia, menjelaskan bahwa lonjakan harga bahan baku dan biaya produksi mengimpit kemampuan perusahaan untuk meningkatkan output secara signifikan. Menurutnya, situasi ini menyulitkan perusahaan untuk beradaptasi dan berkompetisi di pasar yang semakin ketat, baik domestik maupun internasional. "Tekanan dari kenaikan harga bahan baku dan biaya produksi yang sudah terjadi sejak November masih jadi penghambat bagi perusahaan manufaktur pada Desember," ungkapnya.
Dalam konteks ini, beberapa faktor yang berkontribusi pada mahalnya bahan baku dan biaya produksi adalah sebagai berikut:
Kenaikan Biaya Energi: Biaya energi yang meningkat menyebabkan harga produksi juga melambung, karena banyak sektor manufaktur bergantung pada energi untuk operasional.
Rantai Pasokan Global: Gangguan pada rantai pasokan global akibat berbagai faktor, termasuk pandemi dan konflik geopolitik, menyebabkan kekurangan bahan baku.
- Ketersediaan Bahan Baku Berkualitas: Akses terhadap bahan baku berkualitas dengan harga terjangkau menjadi tantangan tersendiri bagi para pelaku industri.
Yusuf juga mencatat bahwa daya saing industri manufaktur Indonesia perlu ditingkatkan agar bisa bertahan dalam ekosistem persaingan global. Hal ini mencakup banyak aspek, mulai dari efisiensi biaya operasional hingga kemampuan produk untuk bersaing di pasar ekspor. Selain biaya, masalah tenaga kerja juga menjadi perhatian, meskipun terdapat peningkatan indeks ketenagakerjaan, pertumbuhannya masih dianggap minim.
Untuk menanggulangi masalah ini, diperlukan kebijakan komprehensif dari pemerintah. Yusuf merekomendasikan agar pemerintah memberikan insentif investasi yang diarahkan pada pengembangan teknologi, efisiensi produksi, dan inovasi produk. Langkah-langkah ini diharapkan dapat memperkuat posisi industri manufaktur Indonesia di pasar global.
Dari sisi permintaan, pemerintah perlu menjaga daya beli masyarakat melalui kebijakan subsidi atau bantuan sosial. Menurut Yusuf, dengan daya beli yang stabil, permintaan terhadap produk manufaktur bisa terus terjaga, memberikan insentif bagi perusahaan untuk meningkatkan produksi.
Dalam menghadapi tantangan mahalnya bahan baku, sinergi antara pemerintah dan pelaku industri sangat penting. Dengan langkah strategis yang tepat, sektor manufaktur diharapkan dapat mengatasi berbagai masalah yang ada dan terus berkontribusi terhadap perekonomian nasional.