
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Heru Dewanto, mengungkapkan keprihatinannya terhadap iklim sosial yang dinilai belum mendukung penciptaan mesin pertumbuhan berkelanjutan di Indonesia. Menurutnya, saat ini dunia usaha di Indonesia lebih cenderung mengandalkan metode-metode lama seperti ekstraksi sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan, sehingga tidak menghasilkan nilai tambah yang diharapkan.
“Saat ini, kita lebih suka mendaur ulang ‘old money’. Proses ini dimulai dari ekstraksi minyak bumi, yang membuat kita beralih menjadi net importer, lalu dilanjutkan dengan membabat hutan untuk kelapa sawit, serta mengekstrak batu bara dan mineral lainnya,” kata Heru dalam keterangan pers, Senin (3/3).
Heru menggarisbawahi bahwa untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, negara harus berani beralih ke inovasi dan aplikasi teknologi baru yang dapat menghasilkan “new money” melalui mesin ekonomi yang lebih modern. Ia menjelaskan bahwa setelah lebih dari 30 tahun bergabung dalam kelompok negara berpenghasilan menengah, Indonesia masih terjebak dalam pola mesin ekonomi lama yang belum mampu mengangkat bangsa ini ke tingkat negara maju.
Salah satu langkah strategis yang dicontohkan oleh Heru adalah industrialisasi dan hilirisasi. Keberhasilan negara-negara maju, katanya, sangat bergantung pada peran industri dan penghiliran komoditas. “Pendekatan yang paling logis adalah memulai hilirisasi pada komoditas unggulan Indonesia, seperti nikel yang menduduki peringkat pertama, bauksit peringkat keenam, dan timah peringkat kedua di dunia,” jelasnya.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Heru menekankan pentingnya penggunaan teknologi yang tepat. Misalnya, dalam ekstraksi nikel saat ini yang banyak menggunakan metode High Pressure Acid Leaching (HPAL) telah mendapatkan kritik karena limbah B3 yang dihasilkannya. Oleh karena itu, Heru menekankan perlunya pengembangan teknologi alternatif yang lebih ramah lingkungan, seperti baterai berbasis LFP (lithium ferro phosphate), hidrogen, dan Sodium Ion. “Dunia mulai beralih menggunakan teknologi baterai lain,” ucapnya.
Selain itu, Heru juga menyoroti metode ekstraksi bauksit yang hingga saat ini masih menggunakan proses Karl Joseph Bayer yang sudah berusia lebih dari satu abad dan menghasilkan limbah B3 berupa red mud. “Tanpa adanya solusi teknologi baru yang lebih ramah lingkungan, Indonesia berisiko kehilangan posisi sebagai pemain utama dalam industri baterai dunia berbasis nikel,” tambahnya.
Heru mendorong semua pihak, terutama pemerintah, untuk memberikan dukungan penuh terhadap pelaku inovasi. Ia mengingatkan bahwa dalam ekosistem inovasi, kegagalan seorang inovator dapat merusak reputasinya dan menyulitkan akses pendanaan untuk inovasi selanjutnya. “Kalau seorang inovator gagal dalam komersialisasi, dampak reputasinya sangat besar,” ungkapnya.
Heru menekankan perlunya perubahan pendekatan dalam perekonomian Indonesia menuju penggunaan teknologi yang lebih inovatif dan ramah lingkungan. Dengan demikian, harapan untuk mencapai Indonesia Emas 2045 dapat terwujud, dan negara tidak hanya menjadi konsumen tetapi juga produsen yang berdaya saing tinggi di kancah global. Semua komponen masyarakat, dari pemerintah hingga pelaku usaha, diharapkan dapat berkontribusi dalam menciptakan mesin pertumbuhan yang berkelanjutan untuk masa depan bangsa.