Ketimpangan gaji antara tenaga kerja asing (TKA) dan pekerja lokal di sektor hilirisasi mineral semakin mencuat sebagai isu yang perlu perhatian serius. Ekonom dari The Reform Initiative, Wildan Syafitri, menyoroti realitas bahwa upah yang diterima oleh TKA bisa mencapai sepuluh kali lipat dibandingkan dengan pekerja lokal. Hal ini terlihat jelas di daerah seperti Konawe, Sulawesi Tenggara dan Batam, di mana perbedaan yang mencolok ini terlihat pada struktur gaji.
Dalam acara Diskusi Hasil Riset Tantangan dan Implikasi Hilirisasi Mineral di Indonesia, yang diadakan di Plataran Senayan, Jakarta, Wildan mencatat bahwa rata-rata gaji seorang tenaga konsultan asing di Konawe mencapai Rp100 juta per bulan. Ini mencerminkan bahwa, di satu sisi, pekerja asing mendapatkan imbalan yang tinggi, sementara di sisi lain, pekerja lokal harus berjuang dengan upah yang jauh lebih rendah. “Kalau orang Indonesia bekerja di luar negeri, itu gaji mereka juga sekitar 10 kali lipat lebih besar dibandingkan gaji pekerja lokal di sini,” tuturnya.
Tidak hanya soal gaji, dominasi TKA juga sangat terlihat di posisi manajerial. Wildan mengungkapkan bahwa banyak posisi strategis di perusahaan-perusahaan hilirisasi di Konawe yang masih diisi oleh TKA. Dalam hal ini, rekrutmen yang kurang transparan serta kualitas pendidikan dan skill pekerja lokal menjadi kendala utama. Menurutnya, rendahnya kualifikasi pekerja lokal mengakibatkan mereka sulit mendapatkan posisi yang lebih tinggi di dalam perusahaan.
Dalam laporannya, Wildan juga menyampaikan bahwa hilirisasi sektor minerba di daerah-daerah seperti Batam dan Konawe telah mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan, mencapai 22%, dibandingkan pertumbuhan nasional yang hanya berada di kisaran 5%. Namun, hal ini tidak boleh mengabaikan nasib pekerja lokal yang harus dirangkul dalam proses pertumbuhan ini. “Jangan sampai pekerja lokal dikorbankan dalam upaya hilirisasi ini,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, menambahkan bahwa berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), hanya sekitar 12% pekerja lokal yang berpendidikan tinggi. Dengan 88% pekerja lokal lainnya memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah, hal ini menunjukkan perlunya fokus pada peningkatan pendidikan. “Saya selalu ingin alokasi subsidi BBM dialokasikan untuk pendidikan,” ungkap Esther, menekankan pentingnya pendidikan dalam membuka peluang kerja yang lebih baik di masa depan.
Indikasi pergeseran struktural yang terjadi dalam dunia kerja di sektor hilirisasi mineral memerlukan perhatian lebih dari pemerintah dan pemangku kepentingan. Pembinaan skill dan pendidikan menjadi satu dari sekian banyak langkah strategis untuk menurunkan ketimpangan gaji antara TKA dan pekerja lokal. Melihat kebutuhan ini, akan menjadi penting untuk kembali mengevaluasi bagaimana posisi pekerja lokal dapat lebih diperkuat dan diberdayakan, sehingga mereka mendapatkan kesempatan yang sama dalam menikmati hasil dari hilirisasi mineral di tanah air.
Selain itu, pemerintah harus memikirkan cara untuk mengurangi ketergantungan terhadap TKA, sementara meningkatkan daya saing dan kualifikasi para pekerja lokal. Ini menjadi sebuah tantangan yang harus dihadapi agar keberadaan hilirisasi mineral benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat setempat, khususnya bagi para pekerja lokal yang menjadi tulang punggung industri ini.