
Indonesia mencatatkan deflasi sebesar 0,48 persen pada Februari 2025, baik secara month to month (mtm) maupun year to date (ytd) dengan angka deflasi mencapai 1,24 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa salah satu faktor utama penyebab deflasi ini adalah diskon tarif listrik yang diberikan pemerintah, sebesar 50 persen. Diskon ini diharapkan dapat membantu meringankan beban biaya hidup masyarakat di tengah situasi ekonomi yang menantang.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, memberikan analisis bahwa deflasi ini juga mencerminkan melambatnya belanja masyarakat. Menurutnya, hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa masyarakat mungkin sedang mengurangi pengeluaran mereka untuk memenuhi kebutuhan yang lebih mendesak menjelang bulan Ramadhan dan Lebaran. “Indikasi lain adalah masyarakat menahan belanja pada Februari untuk penuhi kebutuhan saat Ramadhan-Lebaran. Semoga belanjanya cuma ditunda ya bukan tidak mau belanja,” ungkap Bhima saat dihubungi Cung Media.
Dalam pandangannya, meskipun tarif listrik menurun, deflasi yang masih terjadi menunjukkan bahwa daya beli masyarakat tidak dalam kondisi yang optimal. Uang yang seharusnya digunakan untuk membayar listrik, menurutnya, seharusnya dialokasikan untuk kebutuhan lain, namun kenyataannya menunjukkan bahwa masyarakat justru lebih memilih untuk menyimpan uang mereka. “Deflasi harusnya tidak terpengaruh diskon tarif listrik karena uang yang dihemat dari pengeluaran listrik harusnya dibelanjakan masyarakat untuk keperluan lainnya. Kalau masih deflasi juga artinya uangnya memang tidak ada atau disaving,” jelasnya.
Dari perspektif pemerintah, Staf Bidang Ekonomi, Industri, dan Global Markets dari Bank Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, menekankan bahwa deflasi ini bukan pertanda positif bahwa kegiatan ekonomi melemah. Ia mencatat bahwa Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) pada Januari 2025 masih berada di level optimis, yakni 127,2. “Secara umum sih ya tidak perlu risau sih kalau kita lihat ya, karena dari sisi indeks kepercayaan konsumen juga kita masih tinggi,” ucap Myrdal.
Meskipun demikian, ada catatan penting bahwa belanja masyarakat untuk sektor retail dan pakaian menyumbang kontribusi yang kecil terhadap inflasi, yang berarti pemerintah perlu berupaya meningkatkan konsumsi masyarakat agar belanja retail dapat berkontribusi lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Terkait ramalan inflasi ke depan, Myrdal memprediksi inflasi pada bulan Ramadhan atau Maret 2025 kemungkinan akan mencapai sebesar 1,02 persen secara mtm, dan 0,40 persen year on year (yoy). Sementara itu, Kepala BPS, Amalia Adininggar, menegaskan bahwa deflasi ini dipicu oleh kebijakan pemerintah dalam bentuk diskon tarif listrik, bukan karena penurunan daya beli masyarakat. “Ini bukan karena penurunan daya beli, tetapi karena pengaruh dari diskon tarif listrik ini yang memberikan andil deflasi dua bulan berturut-turut,” tuturnya dalam konferensi pers.
Ke depan, perhatian akan terus tertuju pada pemulihan daya beli masyarakat dan konsumsi, terutama menjelang bulan penuh berkah ini. Diskon tarif listrik mungkin menjadi langkah awal, tetapi diperlukan lebih banyak kebijakan yang mendorong masyarakat untuk kembali berbelanja dan menggerakkan ekonomi lokal.