Bergabungnya Indonesia ke dalam kelompok BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) menjadi topik hangat yang menuai beragam pendapat. Banyak kalangan mempertanyakan apakah langkah ini akan membawa keuntungan atau justru merugikan bagi negara. Menurut Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, Yose Rizal Damuri, manfaat dari keanggotaan ini belum terlihat dengan jelas. Di sisi lain, potensi kerugian semakin besar, terutama dengan kembalinya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat yang diperkirakan akan menerapkan sanksi keras terhadap anggota BRICS.
Yose menekankan bahwa BRICS seharusnya menjadi wadah yang memajukan agenda ekonomi anggotanya. Namun, sejauh ini, tidak ada agenda ekonomi yang signifikan. “Ada beberapa inisiatif baik seperti NDB (New Development Bank), tetapi banyak masalah yang dihadapi, seperti kurangnya sumber daya dan dukungan dari anggota,” jelasnya. Ia juga menyoroti bahwa interaksi antara negara anggota sering kali terjebak pada perbedaan pandangan dan kepentingan, yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.
Keberagaman kepentingan politik di dalam BRICS menciptakan tantangan tersendiri. Sering kali, anggota tersebut berusaha mengejar agenda geopolitiknya masing-masing, yang bisa menjadikan Indonesia terjebak dalam dinamika yang tidak menguntungkan. Yose memperingatkan bahwa BRICS dapat berfungsi sebagai alat kepentingan negara besar seperti Tiongkok dan Rusia, yang berbeda jauh dengan dinamika di G-7 yang lebih terstruktur.
Selain itu, situasi politik global yang berubah, seperti kemungkinan sanksi dari Amerika Serikat, harus menjadi perhatian bagi Indonesia. “Apakah kita siap untuk merespons kemungkinan ini? Mengingat kita memiliki posisi politik bebas dan aktif, langkah ini bisa membawa lebih banyak kerugian dibandingkan manfaat,” sambung Yose.
Meskipun keanggotaan BRICS menawarkan peluang, Yose mengingatkan pentingnya bagi Indonesia untuk tetap fokus pada penguatan sektor ekonomi melalui organisasi yang lebih menguntungkan, seperti OECD. Bergabung dengan OECD akan memaksa Indonesia untuk melakukan reformasi yang sangat dibutuhkan, dan bisa lebih memberi dampak positif dibanding hanya menjadi anggota BRICS.
Selain itu, inisiatif lain seperti MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia) dinilai bisa menjadi opsi strategis untuk memanfaatkan kekuatan negara-negara selatan. “Jika digunakan dengan baik, MIKTA dapat berfungsi sebagai forum yang efektif untuk kontribusi Indonesia dalam isu-isu global,” tutup Yose. Dengan langkah bijak dan strategi yang tepat, Indonesia masih memiliki banyak jalan untuk memperkuat peranannya di dunia internasional tanpa terjebak dalam geopolitik yang rumit.